Problematika Konstitusi NKRI

Konstitusi Indonesia adalah konstitusi tertulis yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). UUD 1945 ini telah diamandemen sebanyak 4 kali dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, akan tetapi masih menyisakan banyak masalah. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI masa bakti 2004-2009, dalam kata sambutannya pada buku Konstitusi RI Menuju Perubahan Ke-5 antara lain mengemukakan ”Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dilakukan 4 kali ternyata masih menyisakan banyak kelemahan dan inkonsistensi, serta ketidaklengkapan sehingga membutuhkan peninjauan kembali…” (DPD RI 2009:iv). [1]

Masalah-masalah yang ada dalam UUD 1945 dan hasil amandemen sebagai sebuah konstitusi bersumber dari tiga hal berikut:
  • Baik UUD45 asli maupun hasil amandemen belum pernah dimintakan persetujuan rakyat secara langsung melalui referendum, dan tidak ada aturan mengenai referendum untuk perubahan dan penggantian konstitusi. Hal ini mengurangi kekokohan sebuah konstitusi.
  • Belum semua nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dituangkan dalam konstitusi. Masih adanya banyak undang-undang yang secara hakekat bertentangan Pancasila, akan tetapi lolos dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi menjukkan bahwa masalah utamanya terletak pada UUD yang terlalu singkat dan tidak mencakup semua hal pokok dalam penyelenggaraan negara.
  • Sebagai bangsa, kita telah mengalami sejarah panjang berabad-abad lamanya. Salah satu masa kejayaan Indonesia adalah masa Majapahit, dimana Hayam Wuruk menjadi Raja (Kepala Negara) dan Gajahmada sebagai Mahapatih (Kepala Pemerintahan). Apa yang terjadi saat ini justru mengingkari sejarah ini dengan menjadikan Presiden sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Hal ini menimbulkan kerancuan sistemik, sehingga kita tidak tahu lagi yang mana yang urusan negara dan yang mana urusan pemerintahan.
Berikut ini berbagai kritik atas UUD45 asli maupun hasil amandemen yang disarikan dari berbagai sumber:

1. KONSTITUSI KILAT

UUD 1945 dibuat dalam masa revolusi yang penuh tekanan. Menjelang tahun 1945, satu persatu wilayah yang tadinya dikuasai oleh Jepang direbut kembali oleh Tentara Sekutu. Untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara yang dijajah oleh Jepang, Kaisar Hirohito membentuk organisasi semi militer (yang di Indonesia dikenal dengan nama Peta/Pembela Tanah Air) dan menjanjikan kemerdekaan. Di Indonesia, janji ini diwujudkan dalam bentuk sebuah  Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito dan kemudian di dilantik pada 28 Mei 1945. BPUPKI beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang dasar negara yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang kemudian dijadikan naskah Pembukaan UUD 1945, setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Sementara itu batang tubuh UUD 1945 dibuat pada masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 hingga tanggal 14 Juli 1945.

BPUPKI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno. PPKI ini dibentuk dengan tujuan untuk mempercepat proses kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jepang. Tanggal 8 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal Terauchi.  Jendral Terauchi kemudian menyampaikan keputusan pemerintah pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945. Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada PPKI.

Atas inisiatif sendiri, bangsa Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 (bukan 24 Agustus 1945 sebagaimana yang dijanjikan Jepang), dan dalam sidangnya yang pertama, tanggal 18 Agustus 1945, PPKI:
  • Mengesahkan Undang-Undang 1945.
  • Memilih dan mengangkat Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
  • Tugas Presiden sementara dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat sebelum dibentuknya MPR dan DPR.
Dengan demikian, dapat disimpulkan UUD 1945 dibuat dalam waktu dan situasi yang revolusioner dan penuh tekanan. Adalah sesuatu yang luar biasa, batang tubuh UUD 1945 itu dibuat dalam beberapa hari saja, yakni pada masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal 10 Juli 1945 hingga tanggal 14 Juli 1945. Itulah sebabnya, pada sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, Soekiman menyatakan bahwa “Di muka kita dletakkanlah suatu rancangan Undang-Undang Dasar Indonesia yang tidak lama lagi akan merdeka ... Dalam keadaan yang demikian itu sudah barang tentu segala tindakan harus bersifat kilat”. [2]

Pada sidang pertama PPKI 18 Agustus 1945, Bung Karno juga menjanjikan untuk membuat UUD baru jika negara sudah dalam keadaan tenteram [2]:

"Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna"

Apa yang dijanjikan oleh Bung Karno itu sampai hari ini belum terlaksana. Dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia, upaya membayar hutang sejarah itu pernah dilakukan sebanyak dua kali, yakni (1) Sidang Dewan Konstituante 1955 - 1959 dan (2) Sidang MPR 1999 - 2002 mengenai Amandemen UUD 1945. Akan tetapi kedua peristiwa itu gagal menghasilkan konstitusi negara yang lebih baik.

Satu alasan ini seharusnya sudah cukup dijadikan dasar untuk melakukan Reformasi Jilid 2 dengan tuntutan tunggal yakni pembuatan Konstitusi Baru NKRI yang mendapatkan legitimasi rakyat melalui referendum dan memperhatikan kriteria konstitusi yang baik dan benar.

2. KONSTITUSI TERLALU SEDERHANA

Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa UUD45 (asli) yang hanya berisi 37 pasal terlalu sederhana untuk sebuah konstitusi negara. Dengan adanya kesederhanaan itu, pelaksanaan UUD 1945 diatur lebih lanjut dengan undang-undang (UU). Kondisi ini membuka peluang terjadinya penyelewengan-penyelewengan oleh pembuat UU sebagaimana terjadi selama ini. [3]

Sebagaimana yang kita lihat UUD45 hasil amandemen juga masih sederhana sebagaimana UUD45 asli, sehingga potensi penyelewengan di tingkat Undang-undang masih terbuka lebar. Pada Juni 2007, di aula KBRI Den Haag, Revrisond Baswir berbicara banyak tentang kondisi struktur perekonomian Indonesia yang menurutnya, banyak dikungkung Undang-undang pesanan kaum neokolonial yang kini bekerja dalam wujud kartel. Baik itu berupa G7, G8, World Bank, IMF, hingga Asian Development Bank. Celakanya, Indonesia tak punya pilihan lain kecuali manut. [4]

Banyaknya undang-undang pesanan sponsor, diakui sendiri oleh Presiden. “Dulu undang-undang kita ini banyak yang pakai sponsor. Ya blak-blakan saja. Sehingga banyak titipan. Saya kira hal seperti itu harus dihilangkan,” kata Presiden Jokowi pada acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (28/11/2017) [5]

3. TIDAK ADANYA PERSETUJUAN PENDAPAT RAKYAT SECARA LANGSUNG

Baik UUD 1945 asli maupun hasil amandemen belum pernah dimintakan persetujuan rakyat secara langsung melalui referendum, sesuatu hal yang sangat fundamental dalam pembentukan konstitusi yang baik dan benar. UUD 1945 dibuat oleh BPUPKI dan disahkan oleh PPKI. Kedua Lembaga ini adalah buatan pemerintah Jepang. Sekalipun anggota-anggotanya adalah para tokoh proklamator, tidak serta merta bisa dianggap sebagai perwujudan suara rakyat.

Pada dasarnya, pihak manapun bisa menjadi inisiator sebuah konstitusi. Hal yang terpenting adalah konstitusi itu dilegalkan melalui sebuah referendum yang disetujui oleh mayoritas warga negara. Sayangnya, referendum itu belum pernah diupayakan dari tahun 1945 sampai hari ini. Jadi, secara de facto dan de jure, UUD 1945 itu diakui sebagai konstitusi negara, akan tetapi secara hakekat masih dibutuhkan adanya sebuah referendum agar posisinya sebagai sebuah konstitusi negara lebih kokoh.

4. PERUBAHAN & PENGGANTIAN KONSTITUSI TIDAK MELIBATKAN RAKYAT SECARA LANGSUNG

Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Itulah sebabnya, konstitusi yang baik dan benar mensyaratkan keterlibatan rakyat secara langsung melalui referendum dalam pembuatan, perubahan, dan penggantian konstitusi. Menyerahkan pembuatan, perubahan, dan penggantian konstitusi kepada wakil rakyat adalah kebijakan ketatanegaraan yang kurang elok. Ibarat kita menggaji pembantu rumah tangga tetapi sekaligus meminta bantuannya untuk mendeskripsikan apa saja pekerjaan yang harus ia lakukan. [6]

Dalam UUD 1945 asli, terdapat aturan untuk mengubah UUD, yakni pada pasal 37:

(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.

Bisa dicermati bahwa aturan perubahan UUD 1945 asli itu tidak melibatkan rakyat secara langsung melalui referendum. Melalui Amandemen ke-4, MPR mengubah pasal 37 ini dengan aturan yang lebih runyam lagi, karena  tidak dimungkinkan adanya penggantian UUD; yang bisa dilakukan hanyalah perubahan pasal-pasalnya saja, dan itupun tidak melibatkan rakyat secara langsung melalui referendum:

(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

5. KURANG KOKOHNYA POSISI PANCASILA

Secara hukum tatanegara, posisi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa masih perlu dipertanyakan. Jika dikatakan bahwa landasannya adalah Pancasila itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, maka hal ini membawa kita pada pertanyaan lanjutan, karena:
  • Dalam Pembukaan UUD 1945 itu tidak terdapat teks "Pancasila", yang ada adalah rumusan sila-sila yang ada dalam Pancasila.
  • Dalam Pembukaan UUD 1945 itu tidak secara ekplisit dinyatakan bahwa Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia dan Ideologi Bangsa Indonesia.
Penulis berkeyakinan, karena "kelemahan" inilah salah satu hal yang mendasari lahirnya Tap MPR No XVIII/MPR/1998 dan Tap MPR No. III/MPR/2000:

  • Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa). Dalam ketetapan tersebut ditegaskan kembali mengenai Pancasila sebagai berikut "Pancasila sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara". Dalam penjelasan ketetapan MPR ini ditegaskan bahwa dasar negara yang dimaksud dalam ketetapan ini di dalamnya mengandung makna sebagai ideologi nasional, cita-cita, dan tujuan negara.
  • Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, diantaranya menyebutkan: sumber hukum dasar nasional yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa; kemanusiaan yang adil dan beradab; persatuan Indonesia; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedua Tap MPR itu menjadi landasan hukum bahwa Pancasila adalah dasar negara, ideologi nasional, dan sumber hukum dasar nasional. Akan tetapi, kekokohan dan keberlakuan Tap MPR itu perlu dipertanyakan lebih lanjut:
  • Seharusnya pernyataan "Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa" dicantumkan dalam UUD, bukan Tap MPR.
  • Dalam UU No 12 Tahun 2011 yang mengatur hirarki peraturan perundang-undangan, Pancasila tidak secara ekplisit disebutkan dalam hierarki.
6. KEDAULATAN RAKYAT SEMU

Baik pada masa sebelum maupun sesudah reformasi, rakyat tak lebih dari alat untuk legitimasi telah terselenggaranya demokrasi. Secara periodik, rakyat melakukan ritual "pesta demokrasi", akan tetapi setelah itu posisi rakyat selalu termarginalkan dalam berbagai keputusan-keputusan negara/pemerintah.

Sebelum masa reformasi, kita mengenal parlemen, yaitu DPR dan MPR yang katanya merupakan lembaga negara tertinggi pelaksanan kedaulatan rakyat, ada pemilihan umum yang berlangsung secara rutin, dan ada partai-partai yang bersaing didalam pemilihan umum. Tetapi realitas politik yang kita hadapi jelas menunjukkan bahwa sistem negara kita sama sekali tidak demokratis. [7]

Setelah masa reformasi, demokrasi menjadi tidak lebih sebagai tontonan perebutan kekuasaan antara elite-elite partai yang dalam persaingan mereka memanfaarkan rakyat. Sebagai rakyat, kita menyaksikan bagaimana mereka yang menamakan dirinya wakil rakyat sama sekali tidak memiliki kepekaan terhadap nasib rakyat yang mereka wakili. Ketika rakyat sedang mengalami kesulitan ekonomi yang hampir-hampir tak tertanggungkan, mereka malah mempeributkan kenaikan berbagai tunjangan dan fasilitas bagi diri mereka sendiri. Korupsi oleh wakil rakyat merebak dimana-mana, agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik, dan sebagainya. [7]

Kedaulatan rakyat yang semu ini dapat ditelusuri sumbernya berasal dari sistem ketatanegaraan kita dimana Kedaulatan Rakyat diatur sebagai berikut: UUD45 asli Pasal 1 ayat 2: Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. UUD45 hasil amandemen Pasal 1 ayat 2: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.

Konsekuensi dari UUD45 asli adalah kedaulatan rakyat diserahkan sepenuhnya kepada MPR; sementara itu setelah amandemen, kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, akan tetapi tidak ada pengaturan lebih lanjut didalam UUD yang dimaksud. Di dalam UUD45 asli maupun amandemen tidak memberikan hak inisiatif dan jajak pendapat rakyat, yang memungkinkan rakyat untuk turut serta dalam pembuatan kebijakan negara/pemerintah.

Selain itu, dalam sebuah sistem demokrasi yang baik,  rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan para wakilnya. Dan hak untuk itu tertulis secara ekspisit dalam UUD.

7. KEKUASAAN DPR YANG TERLALU BESAR

Jika UUD45 asli memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden, maka UUD45 hasil amandemen memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada DPR. Saat ini, DPR memiliki kekuasaan yang sangat besar, khususnya dalam pengawasan dan pengangkatan pejabat publik. DPR memegang suara kunci untuk menentukan pengangkatan mulai dari hakim agung, hakim konstitusi, gubernur BI, kepala kepolisian, pejabat komisi negara, hingga direksi BUMN. [8]

Kondisi ini mulai dipandang negatif karena menciptakan politisasi dan perdagangan kepentingan jabatan-jabatan publik. Peran pengawasan juga dianggap telah dijalankan secara eksesif sehingga menganggu jalannya pemerintahan. Pemerintah dianggap “tersandera” oleh kekuatan parlemen dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Hal tersebut ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang sudah tidak dianggap lagi memperjuangkan kepentingan masyarakat mulai dari kegiatan studi-banding-wisata yang berlebihan ke luar negeri hingga dugaan berbagai praktek korupsi di tubuh DPR yang secara perlahan terbukti.[8]

8. RANCUNYA POSISI KEPALA NEGARA DAN KEPALA PEMERINTAHAN

UUD45 memberikan kekuasan dan kewenangan kepada Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan. Inilah yang menurut Cak Nun menjadi sumber segala kesemrawutan di negara kita. Dalam satu kesempatan, Cak Nun menulis, "Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. " [9]. Bagi Cak Nun, membedakan antara negara dan pemerintahan sangat penting dalam mengurai benang kusut permasalahan bangsa ini.

Agar lebih mudah memahaminya, Cak Nun memberikan analogi seperti rumah tangga dan keluarga. Kepala keluarga ialah bapak sedangkan kepala rumah tangga adalah ibu. Keduanya memiliki kas keuangan sendiri-sendiri. Sebagian dari kas bapak diberikan ke kas ibu untuk keperluan rumah tangga, tapi penghasilan bapak dari kantor masuk ke kas keluarga. [10]

“Nah, di Indonesia tidak ada bedanya rumah tangga dan keluarga. Jadi kepala keluarga adalah kepala rumah tangga di Indonesia.”, kata Cak Nun. [10]

Cak Nun kemudian mengajak merefleksikan kembali filsafat kenegaraan para leluhur di zaman Majapahit. Negara yang pada masa itu dipimpin misalnya oleh Hayam Wuruk bertugas mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan dan menyusun sistem kontrol. Adapun Gadjah Mada merupakan perdana menteri yang bertugas sebagai eksekutor dari kebijakan-kebijakan Hayam Wuruk. Sehingga, Gadjah Mada berposisi diawasi oleh sistem kontrol negara yang dipimpin oleh Hayam Wuruk. [10]

9. TNI/POLRI MENJADI ALAT PEMERINTAH, BUKAN ALAT NEGARA

Undang-undang Dasar 1945 baik yang asli maupun hasil amandemen hanya mengatur TNI dengan menempatkannya di bawah kewenangan Presiden. Hal ini bisa kita lihat pada UUD45 asli/amandemen Pasal 10: Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. POLRI sama sekali tidak diatur dalam kedua UUD ini.

Karena kedua UUD memberikan kekuasan dan kewenangan kepada Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan, maka pada prakteknya, TNI/POLRI lebih sering dijadikan alat pemerintah, bukan alat negara. Jika saja Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dipisahkan kekuasaan dan kewenangannya dan ABRI didudukkan di bawah kewenangan Kepala Negara, problematika ini tak akan terjadi.

10. MULTITAFSIRNYA KETUHANAN YANG MAHA ESA

Satu-satunya sila dari Pancasila yang secara ekplisit ditulis dalam batang tubuh UUD45 (asli dan amandemen) adalah sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang ditempatkan pada pasal 29 ayat 1: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Apa yang dimaksud dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa", hanya dijelaskan dalam 1 ayat, yakni pada pasal 29 ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dengan penafsiran seperti itu, maka dimungkinkan dibuatnya Tap MPR atau Undang-undang yang menganut paham sekularisme, yang memisahkan antara urusan agama dan urusan pemerintahan dan menempatkan urusan agama ke ranah privat. Dan itu sah secara hukum.

Akan tetapi jika merujuk kepada perkataan Bung Karno pada Pidato Lahirnya Pancasila [11], hal itu kurang tepat. Ketika menjelaskan makna dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Bung Karno mengatakan bahwa yang kita dirikan ini bukanlah negara agama islam, atau negara agama kristen, akan tetapi negara yang berdasar kepada banyak agama. Bung Karno mengatakan dengan tegas "negara yang bertuhan", bukan hanya "bangsa yang bertuhan". Dengan demikian seharusnyalah segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini tidak boleh ada yang bertentangan dengan ajaran agama manapun, atau setidak-tidaknya ajaran agama dijadikan salah satu acuan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, penjabaran "Ketuhanan Yang Maha Esa" kedalam hanya 2 ayat dalam batang tubuh UUD45 menimbulkan multitafsir yang bisa memicu perdebatan dan menciptakan instabilitas hukum maupun politik.

11. PENJABARAN SILA-SILA DALAM PANCASILA

Belum semua nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dituangkan dalam konstitusi. Masih adanya banyak undang-undang yang secara hakekat bertentangan Pancasila, akan tetapi lolos dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi menjukkan bahwa masalah utamanya terletak pada UUD yang terlalu singkat dan tidak mencakup semua hal pokok dalam penyelenggaraan negara. Sebagaimana dikatakan pada point 10, satu-satunya sila dari Pancasila yang secara ekplisit ditulis dalam batang tubuh UUD45 adalah sila pertama, dan itupun masih mengundang perdebatan. Penjabaran sila-sila yang lain juga masih perlu dilakukan agar UUD benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan meminimalkan berbagai upaya penyelewengan di tingkat peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD.

Beberapa kasus berikut menjadi bukti yang sulit untuk dibantah bahwa Pancasila belum dijabarkan secara optimal dalam UUD 1945 asli dan hasil amandemen:

(a) Kasus lahirnya beberapa undang-undang bernuansa liberal.

(b) Kasus LGBT.

(c) Kasus Kemanusiaan di Rohingya dan Palestina.

(d) Kasus Pengibaran Bendera Asing di Wilayah NKRI dan Pendirian Patung Jendral Perang China di Tuban.

PENUTUP

Untuk mengatasi berbagai masalah Konstitusi Indonesia itu, diusulkan adanya Reformasi Konstitusi NKRI, yakni Reformasi Jilid 2 dengan satu tuntutan tunggal yakni pembuatan Konstitusi Baru NKRI yang mendapatkan legitimasi rakyat melalui referendum.

CATATAN KAKI:
[1] Perubahan Undang-Undang Dasar Antara Harapan dan Kenyataan, A.A. Oka Mahendra.
[2] UUD 1945 Bersifat Sementara.
[3] Amandemen UUD-45 Yang Kebablasan.
[4] Banyak UU Pesanan Kartel Neo kolonial.
[5] Jokowi: Dulu Undang-Undang Kita Banyak Pakai Sponsor, Titipan.
[6] Teori Konstitusi.
[7] Hak Inisiatif Rakyat Dan Referendum: Upaya Memperluas Ruang Partisipasi Rakyat oleh Hadi Wahono
[8] Kekuasaan DPR, Pendulum Reformasi? oleh M. Ajisatria Suleiman
[9] Pamangku Buwono Mamayu Bawono.
[10] Cak Nun: Ada Kebingungan Sistemik dalam Formula Kenegaraan Kita.
[11] Pidato Lahirnya Pancasila.

Terakhir diupdate: 26 Desember 2017.