Reformasi Konstitusi NKRI

Untuk mengatasi berbagai masalah konstitusi Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam artikel Problematika Konstitusi NKRI, diusulkan adanya Reformasi Konstitusi, yakni Reformasi Jilid 2 dengan tuntutan tunggal yakni pembuatan Konstitusi Baru NKRI yang mendapatkan legitimasi rakyat melalui referendum dan memperhatikan kriteria konstitusi yang baik dan benar.

Agar tidak terjadi pemberian cek kosong dan menimbulkan kerusuhan massal sebagaimana Reformasi Jilid 1 bulan Mei 1998, maka Reformasi Jilid 2 dilaksanakan secara damai melalui 3 (tiga) tahap berikut:
  • Perumusan Usulan Konstitusi Baru
    Hasil akhir yang dicapai pada tahap ini adalah sebuah Usulan Konstitusi Baru yang dibuat dengan membuka seluas-luasnya keterlibatan warga negara.
  • Amandemen UUD 45
    Tahap ini perlu dilakukan agar penggantian konstitusi dapat dilakukan melalui mekanisme yang konstitusional. Kita perlu mendesak MPR untuk melakukan amandemen UUD 45 yang memungkinkan penggantian konstitusi melalui mekanisme referendum dan  mendesak DPR dan Pemerintah untuk membuat Undang-undang referendum penggantian konstitusi.
  • Referendum Konstitusi Baru
    Ini adalah tahap akhir dimana Konstitusi Baru disahkan melalui mekanisme referendum yang diikuti oleh mayoritas warga negara yang memiliki hak pilih.
A. PERUMUSAN USULAN KONSTITUSI BARU

Dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia, upaya perubahan/penggantian Undang-undang Dasar 1945 pernah dilakukan sebanyak dua kali, yakni:
  • Sidang Dewan Konstituante 1955 - 1959
  • Sidang MPR 1999 - 2002 mengenai Amandemen UUD 1945
Konstituante adalah lembaga negara yang ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar atau konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pembentukan UUD baru ini diamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950. Konstituante ini dilantik pada 10 Nopember 1956 dan melaksanakan sidang terakhirnya 2 Juni 1959, sebelum dibubarkan Presiden Soekarno melalui Dekret Presiden. Konstituante telah melaksanakan tujuh kali sidang pleno. Satu kali pada tahun 1956, tiga kali sidang pada tahun 1957, dua kali sidang pada 1958 dan satu kali sidang pleno pada tahun 1959.

Sampai tahun 1959, Konstituante belum berhasil membentuk UUD baru. Maka diadakanlah pemungutan suara untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945. Dari 3 pemungutan suara yang dilakukan, sebenarnya mayoritas anggota menginginkan kembali ke UUD 1945, namun terbentur dengan jumlah yang tidak mencapai 2/3 suara keseluruhan. Setelah voting ketiga, serempak para fraksi memutuskan tidak akan lagi mengikuti sidang Konstituante setelah reses 3 Juli 1959. Keadaan gawat inilah yang menyebabkan Bung Karno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang mengakhiri riwayat lembaga ini sekaligus mengubur upaya pembuatan konstitusi baru sampai terjadi Reformasi Mei 1998.

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. [1]

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen) dengan tujuan menyempurnakan aturan dasar ketatanegaraan, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 itu dilakukan dengan kesepakatan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

Sekalipun demikian, banyak pakar menilai amandemen UUD 1945 menyisakan banyak masalah. Sebagai contoh, Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI masa bakti 2004-2009, dalam kata sambutannya pada buku Konstitusi RI Menuju Perubahan Ke-5 antara lain mengemukakan ”Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dilakukan 4 kali ternyata masih menyisakan banyak kelemahan dan inkonsistensi, serta ketidaklengkapan sehingga membutuhkan peninjauan kembali…” (DPD RI 2009:iv). [3]. Masalah-masalah lain dapat dilihat di artikel Problematika Konstitusi NKRI.

Pun seandainya Konstituante menghasilkan UUD baru dan atau Hasil Amandemen UUD 1945 dianggap tidak bermasalah ada satu hal fundamental dari konstitusi yang baik dan benar yang dilanggar, yakni ketiadaan keterlibatan rakyat secara langsung melalui referendum.

Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Itulah sebabnya, konstitusi yang baik dan benar mensyaratkan keterlibatan rakyat secara langsung melalui referendum dalam pembuatan, perubahan, dan penggantian konstitusi. Menyerahkan pembuatan, perubahan, dan penggantian konstitusi kepada wakil rakyat adalah kebijakan ketatanegaraan yang kurang elok. Ibarat kita menggaji pembantu rumah tangga tetapi sekaligus meminta bantuannya untuk mendeskripsikan apa saja pekerjaan yang harus ia lakukan. [3]

Belajar dari sejarah tersebut, kita perlu membuat Usulan Konstitusi Baru dengan beberapa kriteria sebagai berikut:
  • Usulan Konstitusi Baru dibuat oleh rakyat, bukan oleh lembaga perwakilan atau konstituante. Kegagalan dua kejadian di atas, menurut hemat penulis, disebabkan karena adanya benturan berbagai macam kepentingan partai politik di dalam lembaga perwakilan/konstituante.
  • Usulan Konstitusi Baru itu hendaknya memperhatikan 5 (lima) kriteria konstitusi yang baik dan benar.
  • Jika Usulan Konstitusi Baru itu telah dianggap matang, barulah dibentuk Komisi Konstitusi yang melibatkan rakyat, pemerintah, dan partai politik untuk merumuskan Usulan Akhir Konstitusi Baru yang selanjutnya dimintakan persetujuan rakyat melalui referendum.
A1. Tiga Alternatif Konstitusi Baru NKRI

Sebagai bahan pertimbangan, penulis mengajukan 3 (tiga) alternatif Konstitusi Baru NKRI, yakni

al-1. Usulan Minimal. Konstitusi Baru dibuat dengan merubah/mengganti UUD 45 hasil amandemen dengan memperhatikan point-point berikut ini:
  • Pengakuan akan hak inisiatif rakyat dan hak jajak pendapat (referendum) rakyat, yang memungkinkan rakyat untuk berperan aktif dalam menentukan dan mengawasi kebijakan negara/pemerintah. Referendum diperlukan dalam hal-hal yang fundamental seperti perubahan konstitusi dan penggantian konstitusi.
  • Negara yang kita dirikan adalah Negara yang Bertuhan, bukan Negara Agama. Hal ini berarti negara melindungi hak-hak warga negaranya untuk memeluk agama yang mereka yakini dan menjadikan nilai-nilai agama sebagai sumber hukum.
  • Pemisahan kekuasaan antara Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
  • Pemanfaatan semua sumber daya alam adalah hak dan wewenang negara, bukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Sistem perekonomian yang berdikari dan berkeadilan sosial atas dasar Pancasila.

al-2. Usulan Menengah. Konstitusi Baru dibuat dengan merubah/mengganti UUD 45 hasil amandemen dengan memperhatikan Pokok-pokok Pikiran yang terkandung dalam Undang-undang Dasar (baru), yakni:
  • Negara yang kita dirikan adalah Negara yang Bertuhan, bukan Negara Agama. Hal ini berarti negara melindungi hak-hak warga negaranya untuk memeluk agama yang mereka yakini dan menjadikan nilai-nilai agama sebagai sumber hukum.
  • Kekuasaan tertinggi berada di tangan Tuhan. Sebagai bangsa yang bertuhan, kita mengakui bahwa Tuhan adalah asal segala sesuatu (causa prima), termasuk kekuasaan.
  • Sekalipun kita menganut Teori Kedaulatan Tuhan, kita juga menganut prinsip Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan.
  • Pelaksanaan prinsip kerakyatan dilakukan melalui demokrasi langsung maupun demokrasi perwakilan. Dalam hal-hal yang fundamental seperti perubahan konstitusi, penggantian konstitusi, dan pemilihan presiden dilakukan dengan cara demokrasi langsung; hal-hal lainnya dapat dilakukan dengan cara demokrasi perwakilan.
  • Pemisahan kekuasaan antara Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
  • Kewenangan tertinggi dari Partai Politik adalah urusan pemerintahan dimana kedudukan tertingginya adalah Perdana Menteri dan Dewan Perwakilan Rakyat.
  • Sistem ketatanegaraan dibentuk berdasarkan Konstitusi dan Peraturan Negara yang berada dalam kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara. Pemerintah dan DPR adalah lembaga negara yang berfungsi sebagai pelaksana dari sistem ketatanegaraan itu.
  • Pemanfaatan semua sumber daya alam adalah hak dan wewenang negara, bukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
  • Keraton adalah sumber tradisi, budaya dan nilai-nilai yang menjadi identitas kepribadian dan jati diri bangsa. Oleh kerenanya, negara berkewajiban untuk menyelamatkan, melestarikan, dan mengembangkan Keraton.
  • Pada umumnya, negara-negara demokrasi menganut paham trias politica, yakni pemisahan kekuasaan antara 3 pilar demokrasi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kita perlu menambahkan 2 pilar lagi, yaitu lembaga agama dan pers/media massa.
  • Tentara dan Kepolisian adalah alat negara yang berfungsi mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat, serta menegakkan hukum. Agar dapat menjalankan fungsinya secara benar, Tentara dan Kepolisian dipisahkan dari pemerintah dan berada dalam koordinasi ABRI yang bertanggung jawab kepada Presiden.
al-3. Usulan Lengkap. Konstitusi Baru NKRI terdiri dari tiga komponen, yakni Pancasila, Pedoman Ketatanegaraan, dan Undang-Undang Dasar sebagaimana bisa dilihat pada pranala.

Sekalipun usulan ini telah (hampir) lengkap, tetapi posisinya adalah sebagai sebuah draft yang masih memerlukan berbagai perbaikan dan persetujuan pendapat rakyat.

A2. Pematangan Rumusan Konstitusi Baru

Tahap pematangan Rumusan Konstitusi Baru adalah tahap yang paling panjang dan (mungkin) melelahkan. Hasil akhir yang dicapai adalah sebuah Usulan Konstitusi Baru yang mendapatkan tanggapan positif dari mayoritas warga negara, melalui upaya-upaya konstitusional seperti seminar, diskusi online/offline, dll. Untuk itu perlu dibentuk sebuah Panitia Perumusan Konstitusi Baru (PPKB). PPKB ini pada dasarnya adalah fasilitator dan mediator agar berbagai seminar dan diskusi dapat berjalan lancar, tertib, dan dalam suasana kekeluargaan.

A3. Pembentukan Komisi Konstitusi

Jika Usulan Konstitusi Baru itu telah dianggap matang, maka dibentuklah suatu Komisi Konstitusi yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil rakyat yang terlibat dalam tahap pematangan rumusan konstitusi, pemerintah, dan partai politik.

Tugas utama Komisi Konstitusi adalah merumuskan Usulan Akhir Konstitusi NKRI yang nantinya ditetapkan sebagai Konstitusi NKRI  melalui mekanisme referendum. Perumusan Usulan Akhir Konstitusi NKRI ini harus memperhatikan bahan-bahan yang telah ada pada proses Pematangan Rumusan Konstitusi Baru dan membuka pintu selebar-lebarnya terhadap pendapat rakyat.

A4. Aksi Kebulatan Tekad

Pada tahap dimana Usulan Akhir Konstitusi NKRI telah terbentuk dan disetujui oleh mayoritas anggota Komisi Konstitusi, maka perlu dilakukan suatu kebulatan tekad untuk melapangkan jalan bagi lahirnya Konstitusi Baru NKRI. Aksi kebulatan tekad itu dimulai dengan pembacaan Piagam Bandung (atau nama yang lain) dan disemarakkan dengan berbagai pidato tokoh-tokoh nasional dan pesta rakyat.

B. AMANDEMEN UUD 45

Tahap ini perlu dilakukan agar penggantian konstitusi dapat dilakukan melalui mekanisme yang konstitusional. Kita perlu mendesak MPR untuk melakukan amandemen UUD 45 yang memungkinkan penggantian konstitusi melalui mekanisme referendum dan  mendesak DPR dan Pemerintah untuk membuat Undang-undang referendum penggantian konstitusi.

C. REFERENDUM KONSTITUSI BARU

Ini adalah tahap akhir dimana Konstitusi Baru disahkan melalui mekanisme referendum yang diikuti oleh mayoritas warga negara yang memiliki hak pilih.

CATATAN KAKI:
[1] Wikipedia:UUD 1945.
[2] Perubahan Undang-Undang Dasar Antara Harapan dan Kenyataan, A.A. Oka Mahendra.
[3] Teori Konstitusi.

Terakhir diupdate: 25 Desember 2017.